Kamis, 06 Juni 2019

Prasasti kuningan kanigoro


Setelah posting Candrasengkala masjid kuningan, langsung japrian dengan masternya master atau mbahe mbah blusuk ialah kang Widjatmiko AP via jejaring sosial. Yang menurutnya tak jauh dari lokasi situs tersebut ada situs lain. Namun beliau lupa tempatnya. Mungkin karena sudah lama atau saking banyaknya situs yang beliau kunjungi.


Setelah mendapat info tersebut, sepulang kerja saya langsung blusuk juga. Alhasil memang benar, bahwa ada sebuah situs yang menurut saya kondisinya memang sangat memprihatinkan. Yaitu dibuat alas buat naik ke rumah yang bahasa jawanya disebut (clondakan).
Menurut sipemilik batu tersebut, dulu memang ada orang yang datang kesini. Guna membaca tulisan pada batu tersebut. Serentak dengan perasaan gembreneng (dalam hati) kaget. Masa ada aksaranya?
Dengan membawa cangkul, sipemilik pun menunjukkan aksara tersebut.
Dan memang benar -benar ada untuk tulisan pada batu tersebut yang terletak pada sisi samping batu. Lebih tepatnya aksara kuadrat.


Tanpa pikir panjang, saya langsung menginfokan kepada mas ferry riyandika selaku komunitas di blitar. Dan pada bagian tepi yang beraksara saya kubur kembali.
Keesokan harinya saya dan mas ferry datang kembali ke situs tersebut, dengan mengajak komunitas lain yaitu Rendro dari D'traveler blitar dan Eko dari pokdarwis lawang wentar guna melihat, mendata dan membaca aksara di situs tersebut.


Gali dan menggali lagi pada bagian sisi samping clondakan tersebut. Saya tegaskan ini bukan INSITU. Karena kami sebagai pemerhati dan pelestari situs mengerti aturan. Dengan berbekal sikat dan kain perca yang dibawa mas ferry, akhirnya dapat terlihat jelas aksara tersebut. Saya akui memang istimewa sifat mas ferry terhadap situs.


Sayangnya aksara tersebut kuadrat, saya kesulitan membaca dan kurang memahami untuk font kuadrat. Hanya beberapa aksara dan angka tahun yang bisa. Akan tetapi dengan bantuan sang maha guru mbah GUNAWAN A. SAMBODO, aksara tersebut bisa terbaca.
Beginilah sketsa dari beliau hingga dapat terbaca. Dan sudah saya edit dengan aplikasi MOGN.


Sepulang dari situs saya diajak maen kerumah mas ferry, guna diskusi tentang situs terkait. Hasil diskusinya ternyata membuat kepala cekot - cekot. Inilah hasil diskusinya...

1. Dalam prasasti kuningan diatas yang berangka tahun 1134caka menyebut sri krtaguna padahal era pemerintahan sri srengga atau krtajaya atau dandang gendis. Jadi siapakah dia?

2. Dalam prasasti Jaring menyebut nama kretajaya yang Isinya menyebutkan peresmian sirna Jaring pada tanggal 1 1 Su-
klapaksa bulan Marggasira tahun 1103 S (=19 November 1181 M) oleh Sri Maharaja Sri Kron-
caryyadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayo-ttungadewanama Sri Gandra. Dalam prasasti sapu angin era raja kameswara diatas logo menyebut krtajaya, sri srenga pada prasasti kamulan juga krtajaya. Jadi siapakah krtajaya sebenarnya?

Menurut kalian siapa hayo....?
Belajarlah jangan cuma selfi.

Rabu, 05 Juni 2019

SITUS RINI


Selepas bakti situs dilingga suru, kami (saya from asta gayatri, mas ferry Riyandika from BALETAR dan eko dari POKDARWIS LAWANG WENTAR) melanjutkan bakti situs ke situs rini. Menurut mas ferry riyandika situs rini adalah sebuah prasasti. Dan memang untuk Prasasti Rini sendiri belum terbaca. Hingga saya pun semangat sekali.


Tepatnya di Dusun Bebekan, Desa Doko, Doko, Kab. Blitar. Setelah melintasi Sungai Rini, kami pun tiba diPrasasti tersebut. Berada didalam cungkup, tepat di pinggir jalan dusun. Prasasti Rini sendiri di rawat oleh komunitas masyarakat Hindu asli Blitar, yang mungkin sudah memeluk Hindu turun temurun sejak masa silam. Dan juga prasasti tersebut dikeramatkan oleh masyarakat setempat sebagai sebuah punden.


Pembacaan versi saya.


Dapat disimpulkan bahwa isi dari Prasasti rini adalah sebuah inskripsi yang merujuk pada angka tahun caka 1159, atau setara dengan 1237 masehi. Era ini adalah era kerajaan tumapel bisa dibilang singosari atau singhasari. Yang menurut pararaton dan negarakretagama adalah masa pemerintahan Bhatara Anusapati yaitu raja kedua dari kerajaan Tumapel.

Sebuah cuplikan vidio saat bakti disitus rini.

Senin, 03 Juni 2019

Jambangan satak

Masih seputaran desa satak, yang masih masuk area perkebunan afdeling sepawon. Selain Yoni dan arca parwati, setelah saya telusuri bersama agung dan anaknya,ternyata masih terdapat situs lain yaitu dua buah jambangan atau bak air.


Satu buah jambangan berada diarea perguruan silat yang berangka tahun 1279 çaka, dan satunya lagi berada disebuah hutan timurnya perguruan silat yang berjarak sekitar 500 meter dan tertulis angka 1277 çaka. Bertulis huruf jawa kuno yang menurut pembacaan saya adalah "pa ba repi gakite". Entah artinya apa, saya cari dikamus hanya kata terakhir yang sulit dipecahkan.

Jika melihat dan membaca angka tahun tersebut. 1277 dan 1279, terpaut 2 tahun. Hal ini menyimpulkan bahwa jambangan tersebut digunakan era pemerintahan Hayam Wuruk. Hayam wuruk adalah raja keempat Majapahit yang memerintah tahun 1351-1389 dengan gelar Maharaja Sri Rajasanagara.
Dalam pemerintahamnya majapahit mencapai puncak kejayaannya. Dan salah satu sastra yang paling terkenal adalah negarakretagama.


Nagarakretagama ditulis dalam bentuk kakawin (syair) Jawakuna. Tiap kakawin terdiri dari empat baris, disebut pada. Tiap barisnya terdiri dari delapan hingga 24 suku-kata, disebut matra. Naskah kakawin ini terdiri dari 98 pupuh, dibagi dalam dua bagian, yang masing-masing terdiri dari 49 pupuh. Tiap pupuh terdiri dari antara satu hingga sepuluh pada. Dilihat dari sudut isinya pembagian pupuh-pupuh ini sudah dilakukan dengan sangat rapi. Berikut cuplikan kakawin negarakretagama pupuh 62 yang menurut saya, melintasi daerah satak ini.



Keberadaan bak/jambangan air ini memiliki nilai penting yang dapat memberikan gambaran mengenai aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat di satak pada masa lalu khususnya masa klasik (Hindu-Budha).
Jambangan atau bak air ini merupakan wadah terbuka yang berfungsi untuk tempat penampungan air, kemungkinan merupakan sarana untuk kegiatan upacara keagamaan dimasa itu.

Berikut cuplikan vidio tentang situs tetsebut.