Selasa, 24 Maret 2020

Kalagyan di karangsono blitar


Apa kalian tahu dengan istilah kalagyan? 
Batinmu mesti opo neh kui.
Garudhara kok enek - enek ae.. 
Teringat suatu darah di blitar yaitu desa karangsono. Sebuah dearah yang memiliki jalur dagang kuno. Kenapa begitu?
Karena disana terdapat sungai yang terkenal dengan julukan sungai jurang bandung. Menurut peta lama, foklor dan cerita tutur, sungai ini dulunya terhubung dengan sungai brantas. Namun ketika pembangunan waduk / DAM serut, akhirnya sungai ini ditutup. Dan dibangun lagi sebuah jalur sungai baru. Seperti yang kita ketahui, dulu mayoritas penduduk negri ini bermata pancaharian maritim. Seperti mencari ikan dan berdagang. 
Istilah kalagyan sendiri berarti daerah pemukiman para pedagang.
Karangsono terdiri dari dua kata, yaitu karang dan sono. "Karang" bisa diartikan bumi banjar atau pekarangan atau lahan. Sedangkan "sono" adalah sebuah nama pohon. Jadi nama karangsono bisa diartikan sebuah lahan yang ditandai dengan pohon sono. Berhubung karangsono memiliki jalur dagang kuno, dapat disimpulkan daerah karangsono adalah sebuah kalagyan. Karena tak mungkin para pedagang dan pencari ikan tidak mempunyai tempat tinggal. Pasti mereka memilih bermukim didaerah yang letaknya tak jauh dari pusat mata pancaharian mereka. Yaitu daerah karangsono dan sekitarnya. 

Lantas apakah ada peninggalan era klasik di karangsono?
Jelas pasti ada. 
1. Batu dakon
Berapa kali saya bilang, liat konteks dulu baru menyimpulkan. Contoh tentang keberadaan batu dakon disini. Banyak yang bilang kegunaan batu dakon guna munghitung penanggalan dan masa cocok tanam. Tapi, kalau melihat konteks disini argumen tersebut tidak berlaku. 
Karena letaknya di sumber mata air di tepian sungai, kegunaan batu dakon disini adalah sebagai alat untuk menumbuk tanam tanaman tertentu guna menghasilkan buih layaknya sabun dan kemudian digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian. Makane lek bar virus corona iki, lek kowe ora kenek corona yo kowe podo blusuko ben ngerti konteks. Sinau ora mung nek kelas karo delok buku opo maneh tekok google. Blusuk ki yo sinau. Mosok ora ngerti?






2. Jaladwara
Kenapa ada jaladwara disini, apa dulunya ada bangunan era klasik disini? 
Tentu saja iya, namun kondisi sekarang sudah tertutup lumpur. Menurut pemilik jaladwara, dulu dia mendapatkannya sewaktu membersihkan mata air, karena akan digunakan untuk ternak ikan. Ketika mencangkul tepian sumber sedalam 20 cm, dia menemukan tatanan bata kuno yang memanjang sekitar 8 meteran (sebut saja struktur). Selain itu dia juga menemukan dua buah jaladwara dan sebuah lumpang kotak (sebut saja yoni) dan akhirnya dibawa pulang. Dalam kurun waktu semalam dirumah, satu jaladwara dan sebuah yoni itu hilang dan hanya menyisakan satu buah jaladwara ini. Bahkan tetangga si pemilik jaladwara ini, dulu juga pernah menemukan kepala kala dan arca ganesha, namun juga sudah raib pula. 
Apa sih jaladwara? 
Pada bangunan candi ataupun patirtan, terdapat beberapa komponen. Salah satunya adalah yang disebut Jaladwara. Jaladwara difungsikan sebagai komponen bangunan untuk saluran air pada bangunan candi. Keberadaaan Jaladwara di bangunan candi bukan saja memenuhi fungsinya namun juga berhias dan bermotif sangat indah. Bahkan banyak jaladwara yang bermotif hewan mitologi atau hewan yang dipercaya penguni kahyangan.
Terbukti kan, desa karangsono dulunya memiliki sebuah bangunan era klasik.




3. Arung
Tepat diatas struktur bangunan era klasik tadi, terdapat sebuah arung.  Yaitu saluran air atau bisa dikatakan sungai bawah tanah. Dan jika dikaitkan dengan struktur bangunan diatas tadi, keberadaan arung sangatlah sinkron.



Minggu, 22 Maret 2020

Situs tanggung bence


Gara - gara corona, memang harus exstra hati - hati. Untung saja saya mempunyai sebuah trik khusus guna tetap eksis dalam perwatuan. Yaitu dengan cara menandu foto dari tahun 2017.

Berhubung penasaran tentang suatu daerah yang bernama tanggung,awal tahun kemarin saya menyelaminya lagi. Ialah dusun tanggung desa bence kabupaten blitar. Ternyata memang benar, disini masih terdapat beberapa kekunoan era klasik. Dulu blusukan tahun 2017  hanya menemukan sebuah bak air, yang saya kira adalah tempat guna menampung air guna bersuci. Namun saya salah ketika menemukan peninggalan yang lainnya, karena lokasinya sangat berdekatan meskipun tersebar. Dan untuk menyimpulkan suatu daerah, bagi saya harus melihat konteks terkait. Dan inilah peninggalannya :




1. Bak air / jambangan/ tempayan
Jaman dulu, banyak para musafir dari berbagai daerah. Yang menurut buku yang saya pelajari, para musafir tidak langsung menuju suatu tempat yang ia tuju. Namun mereka singgah di daerah tertentu guna beristirahat. Perlu dimengerti karena jaman dulu belum ada mesin motor. Jadi untuk menuju daerah tertentu bisa membutuhkan waktu berhari hari. Melihat bentuk bak / tempayan yang tidak ada lubangnya guna buangan air, dapat disimpulkan bahwa fungsi bak disini adalah untuk menampung air. Dan air yang ditampung di bak ini,  digunakan shodaqoh penduduk / demang / pimpinan desa untuk para musafir tersebut.



2. Sebuah pipisan, batu bata kuno dan lumpang yang teronggok di belakang rumah.
Melihat ukuran dan teksture batu bata kuno disini,  dapat disimpulkan adalah peninggalan era majapahit.
Batu pipisan menurut para ahlinya digunakan untuk menumbuk bahan - bahan ramuan guna membuat obat atau jamu.




3. Beberapa buah umpak dan dua buah lumpang beralih fungsi menjadi pot.
Melihat konteks diatas, dapat disimpulkan daerah tanggung bence ini, dulunya adalah sebuah pemukiman kuno era majapahit. 

Situs talang tulungagung



Dua kali kesini kondisi tetap sama seperti dulu. Kesini kedua kali hanya untuk memastikan kembali ODCB. ya memang, tindakan seperti ini harus kita sadari apalagi kalau kita sudah terjun sebagai pelaku pelestari dan pemerhati cagar budaya. Karena kita tahu sendiri benda- benda tersebut kerap kali di incar para mavia batu seperti kamu yang merasa. Juga kerap kali beralih fungsi.



Terletak di samping warung dan selalu menjadi pantauan warga. Karena warga juga mensakralkan tempat ini dan diberi nama punden Mbah citro Sentono. Disini terdapat gundukan bata kuno yang diatasnya masih terdapat konponen penyusun candi.
Antara lain :
1. Tiga buah dorphel besar
Bisa dimungkinkan adalah bagian anak tangga dari candi tersebut, karena terdapat lubang guna pengunci.



2. Dua buah dorphel kecil


3. Arca nandi
4. Dua buah yoni. Yang satu ukuran besar 70 cm persegi yang diperkirakan era kediri. Dan yang satu ukuran 50 cm persegi.



5. Tiga buah lingga pemujaan, satu ukuran besar (ukurane ra tak dudohi) dan yang dua berukuran kecil.  Dikatakan lingga pemujaan (bukan lingga patok) karena terdiri dari tiga bentuk. Pada bagian bawah berbentuk kotak, pada bagian tengah berbentuk segi delapan dan pada bagian atas berbentuk bundar.



6. Fragmen arca siwa


7. Fragmen arca nandiswara


8. Fragmen arca parwati karena masih jelas memiliki payudara yang menonjol.


ODCB ini masih pada posisi insitu. Dan diperkirakan lintas masa. Karena batu bata kunonya era medang (tebal dan berbobot alias padat) sedangkan yoninya era kediri.


Berdasarkan data belanda (ROC) memang benar adanya tentang situs ini, hanya beberapa yang hilang.  Dan info dari sang master blusukers kang miko, kala di musium mpu tantular berasal dari sini. Jika mengacu pada sumberdata (ROC).


Sabtu, 21 Maret 2020

Situs krecek


Terdapat peninggalan era klasik di badas kediri, yang beralih fungsi menjadi nisan sebuah makam. Sesuatu hal yang lazim di era modern ini, dan sering saya jumpai di berbagai daerah.



Ialah sebuah lapik yang terbelah dengan berhias padma. Sudah saya jelaskan di postingan sebelumnya.  Apa itu lapik secara fungsionalnya.
Menariknya di seputran makam ini, tercecer bata kuno ukuran majapahit. Bahkan ada gundukan bata kuno juga. Bisa dipastikan makam ini adalah sebuah reruntuhan bangunan era klasik. Sesuatu yang wajar lagi.
Bekas bangunan era klasik menjadi makam ataupun menjadi tempat ibadah umat islam. 
Pertanyaannya, kenapa hal ini kerap kali terjadi? 
Japrio aku, ngko tak dudoi alasane. 



Di awal bulan ini saja mendapat inbox an dari seseorang yang belum aku kenal. Dia mengabarkan bahwa salah satu batu diatas sudah hilang di curi orang. Untung banyak mata - mata, jadi sangat mudah melacak keberadaan benda tersebut.


Sebenarnya batu di atas tidak hilang, namun sengaja dikumpulkan menjadi satu disebuah situs terdekat. Mungkin ada kepentingan pribadi guna mengangkat situs terkait.
Dalam hati berkata, yo gak popo pokok ora di dol. Yang penting sudah kordinasi dengan masyarakat setempat, pamong desa, babinsa maupun komunitas terkait.
Soalnya bagi saya sendiri, dia mempunyai itikat baik dalam hal penyelamatan objek yang diduga cagar budaya.



Situs Sumur Jolotundo menjadi salah satu pilihan jelajah situs dalam agenda kegiatan kami astagayatri yang ke tiga kalinya. Tahun 2017 saya sudah kesini bersama anak perempuan. Tahun lalu juga kesini lagi ditemani ayu kiko, serta mahasiswa IAIN niswin dan azizah. Di jelajah situs yang ketiga, kesini lagi pas bertepatan dengan ulang tahun komunitas kami yang ke tiga tahun pelegalan. Dan ternyata antusias para blusukers luar biasa. Hampir mendekati 50 orang yang ikut blusukan. Saya pribadi terharu dan mengucapkan terima kasih banyak bagi para peserta yang sudah mendukung salah satu kegiatan kami.




Terletak di belakang pekarangan rumah pak sutaji yg selaku juru kunci makam sakaligus pemilik kesenian tradisioanl kuda lumping TURONGGO SARI BUDOYO di dusun ngumbo,Kecamatan Kalidawir,Kabupaten Tulungagung.
Sumur jolotundo adalah sebuah sumur yang tersusun dari balok Batu andesit sehingga mirip Sumuran candi yg di perkirakan kedalaman sumur ini adalah 15 meteran. Uniknya, meskipun tersusun dari balok batu andesit, pada bagian sumur paling atas terdapat sebuah jobong dari batu andesit pula.



Dan sumur ini tidak pernah kering saat musim kemarau. Sumur Jolotundo di ketemukan saat seorang warga menggarap tanah dan saat itu ada hal yang aneh cangkulnya mengenai batu dan saat di teruskan menggali ternyata menemukan struktur berupa sumur.
Banyak orang yg datang kesini untuk membawa air yang dipercaya sebagai MEDIA untuk kesembuhan orang sakit. Alhasil banyak yang sembuh juga.
Ibarat sakit gigi, kalau cuma berdoa tanpa obat sebagai media apa bisa sembuh?
Itulah salah satu pelajaran yang kita petik dari sebuah manfaat air sumur diatas. Monggo yg berminat silahkan datang kesini, tapi aku moh ngeterne. Salahe ora melu jelajah situs.


Jumat, 20 Maret 2020

Punden ngreco kalidawir


Beberapa bulan lalu saya kesini. Berawal ketika ada infornasi dari teman komunitas yaitu pak zakiyul fuad zain, bahwa ada lapik arca di daerah kalidawir. Dan memang benar, ternyata ada dua buah lapik arca.
Sebetulnya beberapa bulan lalu juga sudah saya posting via medsos fb. Tapi kali ini saya posting lagi karena masuk dalam kategori kegiatan komunitas kami astagayatri, dalam jelajah situs yang ke tiga kalinya.

Lapik arca adalah bahasa arkeolog yang secara fungsional bila dijabarkan adalah tempat dudukan / alas dari arca dewa yang di stanakan maupun arca yang di puja pada masing - masing sekte hindu.


Lapik ini sudah tidak insitu, sudah bergeser ketimur sejauh 100 meteran dan telah dijadikan punden oleh warga setempat. Menurut cerita warga, dulunya diatas dua buah lapik ini dulunya terdapat arca laki - laki dan perempuan. Dan ternyata memang benar, dari sumber data belanda (ROC)  diatas memang ada dua buah arca.  Yaitu arca siwa dan arca parwati. Sedangkan untuk keberadaannya saat ini kurang mengetahui.  Entah lenyap, entah dihancurkan, entah diamankan atau entah beralih fungsi.


Nama punden diatas adalah punden ngeco. Pastinya sesuai dengan namanya. Punden ini masih sering digunakan oleh warga setempat. Menurut masyarakat sesaji yang dibawa kesini harus ada jenang sewu. Apa itu jenang sewu?
Tekono mbahmu lek ra ngerti.
Kowe wong jowo lek ra ngerti jan kebacut. Uripo nek irak kono ae.