Sabtu, 27 Juli 2019

Situs pojok garum


Mblusuk tipis - tipis ke seputaran rumah teman. Tidak menyangka, ternyata di Desa Pojok - Kecamatan Garum - Kabupaten blitar. Terdapat beberapa artefak berupa kala, lesung, dan yoni. Benda-benda tersebut sengaja di amankan di halaman rumah warga. Maklum, rawan hilang.
Menurut pemilik lahan, yoni dan kala ini dulunya berada dalam rumah. Namun karena rumahnya dibangun alias direnovasi, akhirnya kala dan yoni ini diangkat sendirian ke halaman rumah. Sempat datang pula orang dari plat AG (karisidenan kediri yang meliputi nganjuk, kediri, pare, tulungagung, blitar dan trenggalek) hendak membeli benda - benda tersebut senilai rong yuto. Namun oleh ayah si pemilik yang kebetulan saat itu masih hidup, tidak diperbolehkan. Karena ayah dari pemilik yang saat ini, paham akan peninggalan sejarah.


Dan dengan menunjukkan sebuah foto koleksi pribadi, yaitu kumpulan uang kuno yang juga tanpa sengaja saya dapatkan dari sebuah situs.
Saya pun bertanya, "sewaktu merenovasi rumah apa tidak menemukan sesuatu pak, karena biasanya di seputaran benda - benda bersejarah seperti ini terdapat suatu benda seperti koin / uang kuno ataupun rajah dari plat yang diberi nama bekal kubur?"
Dengan wajah kaget dan tersenyum beliaupun menjawab "iya mas, dulu saya pernah mendapatkan benda - benda seperti itu. Namun karena tidak banyak yang mengerti, akhirnya benda tersebut dibawa tukang bangunan mas". Pemilik juga bercerita, almarhum ayahnya juga pernah menemukan potongan kepala arca wanita. Namun sudah raib di tahun 2000an.

BEKAL KUBUR

Hampir semua bangsa meyakini manusia pasti mati. Hampir semua bangsa meyakini ada kehidupan setelah kematian. Hampir semua bangsa bersiap - siap dan menyiapkan bekal untuk kehidupan setelah kematian. Manusia yang mati juga perlu diberi tanda dan bekal agar dapat dikenali dan hidup layak di alam berikutnya. Itulah sebabnya benda - benda diatas dimakamkan atau didharmakan bersama. Dengan adanya bekal kubur, kuat dugaan bahwa situs ini dulunya adalah tempat pendharmaan abu jenazah. Abu jenazah sendiri di dharmakan 12 tahun pasca kematian atau dibakarnya jenazah yang biasanya disebut dengan istilah "ngaben". Namun entah dewi siapa yang di dharmmakan (karena ada arca perwujudan wanita), perlu pemblusukan lebih dalam dan mencari referensi lainnya.

KALA NAMPAK DEPAN

KALA NAMPAK BELAKANG

Kala merupakan hiasan candi yang melambangkan waktu, maut dan hitam. Kala berbentuk wajah raksasa dengan mulut terbuka tanpa rahang bawah, Biasanya diletakkan di atas ambang pintu candi lalu bagian bawahnya ada dekorasi makara.
Kala di candi-candi dengan Langgam Jawa Timur digambarkan mempunyai rahang bawah (berdagu), dan kebanyakan mempunyai sepasang cakar di kanan-kiri kepalanya dalam artian mengancam kejahatan yang akan mengganggu kesucian candi. Dengan adanya kala pula, diduga dulu area situs ini adalah bangunan candi yang cukup besar. Namun candi pendharmaan.


Pada beberapa candi zaman Singhasari dan Majapahit kepala Kala dilengkapi sepasang tanduk dan sepasang taring yang mencuat dari pipi kanan-kirinya. Dan di Jawa Timur pula, Kala tidak lagi dipasangkan dengan bingkai Makara, melainkan dengan ular atau Naga yang diletakkan di samping kanan-kiri Kala.

YONI

Yoni merupakan simbol wanita atau Dewi Parwati, salah atau dewi dalam Agama Hindu. Dengan adanya yoni diduga corak  agama Situs pojok pada masa klasik adalah agama Hindu sekte siwa.

LESUNG

LESUNG


Sebelum mesin ditemukan, lesung digunakan untuk mengolah hasil dari pertanian dan mengolah bahan untuk menjadi makanan. Terkadang juga digunakan untuk mengolah obat - obatan dalam jumlah yang besar.
Tapi yang paling sering digunakan adalah untuk menumbuk padi (hasil pertanian). Berbentuk balok persegi panjang dan bagian tengahnya dicekungi cukup dalam serta bagian lubangnya lebar. Tidak seperti lumpang yang notabene berlubang kecil.
Dulu, untuk menumbuk padi dibutuhkan tenaga yang banyak. Dapat kita bayangkan bahwa masyarakat di era klasik sangat rukun. Karena waktu menumbuk padi mereka berkumpul, bergotong royong serta berbagi pengalaman.
(kalo sekarang mah kagak ada).
Dari sini dapat digambarkan bahwa letak lesung ini dulunya berada di pemukiman penduduk.






Cuption....

Dalam bahasa Jawa (pakem) angka itu terurut mulai dari 1-0 dengan deretan; 1,2,3,4,5,6,7,8,9,0. Ke sepuluh angka tersebut lalu dilafalkan dengan istilah SIJI, LORO, TELU, PAPAT, LIMO, NEM, PITU, WOLU, SONGO, dan NOL. Deretan angka-angka ini memiliki makna yang mendalam, yg sejalan dengan makna kehidupan umat manusia.
ada bilangan 10 yang biasa disebut dengan SEPULUH atau SEDOSO. Bilangan ini dalam bahasa Jawa juga memiliki makna yang mendalam. Bilangan ini pun terdiri dari gabungan angka 1 (SIJI) yang berarti awal, dan angka 0 (NUL) yang berarti akhir. Tidak ada angka lain sebelum angka 1 (SIJI) dan tidak ada angka lain pula sesudah angka 0 (NUL), karena sesudah itu akan kembali lagi ke 1 (SIJI), tidak ada angka yang baru lagi. Angka 1 (SIJI) berbicara tentang hakekat Tuhan, sedangkan angka 0 (NUL) berbicara tentang pengosongan diri.

Ini sangat berbeda dengan prinsip orang Barat yang justru kebalikannya. Mereka meletakkan angka 0 itu di depan angka 1. Secara tersirat artinya mereka meletakkan Tuhan itu dibelakang makhluk, begitupun dengan aturan-Nya bahkan tidak digunakan dalam menata kehidupan sehari-hari. Dan sayangnya lagi bangsa kita ini pun ikut-ikutan pola numerik bangsa Barat ini, yang jelas-jelas tidak sesuai lagi dengan prinsip keimanan dan ketauhidan yang sejati kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang sejak dahulu kala sudah diwariskan oleh para leluhur kita.

Tidak ada komentar: