Rabu, 02 Oktober 2019

Situs ngaglik srengat


Hanya berbatasan rel kereta api dengan  Situs selokajang (klik). Terdapat sebuah desa yang juga memiliki peninggalan era klasik di berbagai titik lokasi. Ialah desa ngaglik kecamatan srengat kabupaten blitar.
Sebelum membahas situs ngaglik, saya singgung sedikit tentang penulisan diakritik. Karena diakritik sering digunakan untuk alih aksara dalam pembacaan suatu prasasti. Dan bagi saya, itu sangat penting kita pelajari.

Pada umumnya, aksara Jawa Kuno atau lebih dikenal dengan aksara kawi adalah sebuah aksara yang dikembangkan oleh leluhur kita di Nusantara yang berawal dari aksara Pallawa. PERKIRAAN, aksara Jawa kuno atau Kawi merupakan aksara yang digunakan sejak abad ke-8 sampai 16 yakni dimulai di era Kanjuruhan yakni Prasasti Dinoyo yang berangka 682 saka atau 760 Masehi hingga masa Demak.

Aksara Jawa kuno memiliki sekitar 33 aksara konsonan dan 16 aksara Vokal sangat berbeda dengan aksara Jawa Baru atau Carakan yang hanya 20 aksara saja. Aksara jawa Baru atau Carakan sendiri baru ada di era Mataram Islam jadi gugurlah sudah teori Ajisaka.

Diakritik adalah tanda baca tambahan pada huruf. Berikut beberapa huruf diakritik.


Kali ini kita bahas dua huruf diakritik. Karena saya sudah berjanji kepada seorang teman epigraf muda dari tuban . Teguh fatchurosi namanya. Karena sebelumnya sempat mengenai penggunaan diakritik pada dua huruf ini. Ialah huruf Ṅ dan Ŋ Beserta penjelasannya.



Lanjut ke situs ngaglik yang tersebar diberbagai tempat.
1. Punden mbah biluk
Terdapat dua buah balok batu berbentuk kotak yang saya perkirakan sebagai salah satu konponen penyusun bangunan candi.



Foklor di punden ini.
Pada saat hajadan apapun, tidak boleh menggunakan pakaian berwarna hijau pupus (hijau muda). Dikarenakan yang punya hajad maupun semua yang terlibat membantu acara hajadan tersebut akan menuai sial atau akan kesurupan. Menurut warga setempat, sudah menjadi pantangan dan sudah banyak yang menjadi korbannya (fakta). Saya sendiri juga tidak sempat bertanya ke korbannya untuk membuktikan bahwa itu hanyalah suatu mitos atau memang kebetulan. Soale ora percoyo tembung jare.

2. Pundhen mbah suwito
Di bawah pohon besar, entah apa nama pohonnya karena saya lupa. Terdapat tiga buah makam yang tersusun dari bata kuno yang besar dan panjang. Menariknya lagi, terdapat dua buah ambang pintu yang juga di gunakan untuk penanda makam (bukan nisan). Menilik ukuran batanya lebih kecil dari pada ukuran kediri, dapat kita simpulkan bahwa batu bata tersebut adalah era majapahit.





Foklor
Waktu hajatan khusus desa, semisal acara bulan suro. Harus di ada pertunjukan tayub. Kalo tidak pak kepala desa ataupun perangkat desa lainnya akan di datangi harimau besar dan ular yang besar, selaksa ingin membunuh mereka. Foklor selanjutnya adalah ketika warga dusun tersebut mempunyai hajatan, semisal resepsi nikah. Tidak boleh memakai pakaian warna hijau (bukan hajau muda). Dikarenakan hubungan dalam bersuami istri tidak langgeng. (iki yo tembung jare wong ngarit) Entah kebetulan atau.....?

3. Cobanteng





Dinamakan cobanteng karena terdapat arca nandi / sapi. Selain itu juga ada fragmen arca, doorphel, batu berukir (antefix), fragmen lingga juga batu candi. Yang menarik pada situs ini adalah terdapat inskripsi 1295 caka era rajasanegara alias hayam wuruk. Salah satu raja besar yang senang berjalan - jalan. (jare negaranegara kertagama). Kok panggah tembung jare to?
Bener po gak jane?





Vidio dokumenter situs cobanteng setahun lalu.


Dapat disimpulkan bahwa, kemungkinan antara desa selokajang dan desa ngaglik dulunya adalah wilayah kesatuan. Karena hanya berbatasan dengan perlintasan kereta api.

Cuption.





Tidak ada komentar: