Sabtu, 10 Agustus 2019

Situs karangrejo kandat


Barawal dari rasa penasaran tentang jobong sumur, waktu melihat suatu berita temuan di medsos. Pada akhirnya, muncul pertanyaanku kepada temen - temen komunitas sejarah tentang keberadaan jobong sumur di plat AG. Dan blusuk pun kumulai. Sekitar setengah harian (kalau gak salah) blusuk di kecamatan kandat, akhirnya kutemukan juga sebuah jobong sumur.


Pada masa klasik, air bersih diperoleh dengan cara menggali tanah untuk membuat sumur. Bagian tepian sumur diberi penguat yang dibuat dari struktur bata dan tembikar ada juga yang terbuat dari batu sehingga disebut dengan istilah jobong. Kadang-kadang di sekitar permukaan sumur diberi lantai dan saluran air yang terbuka dan ada juga yang tertutup.


Setelah tanah digali sampai kedalaman air tanah yang layak minum, kemudian masing-masing jobong diturunkan satu demi satu menumpuk sampai ke permukaan sumur. Bagian yang garis tengahnya lebih besar terletak di bawah, menutupi bagian yang garis tengahnya lebih kecil.
Selain berfungsi untuk keperluan sehari-hari, air sumur berfungsi juga untuk upacara keagamaan dan pertanian dalam skala yang kecil (misalnya untuk menyirami tanaman ketika kemarau).



Menariknya pada jobong tersebut ada inskripsi yang bertuliskan angka tahun caka yaitu 1112 caka, atau setara dengan 1190 masehi. Jelas pada tahun tersebut adalah era kerajaan kediri. Namun untuk pemegang kekuasaan belum jelas. Karena suasana didalam kerajaan itu sendiri begitu mencekam. Penyebabnya yang pasti adalah perebutan pemegang hak kekuasan.

Untuk lebih jelasnya simak penjelasan mas SIWI SANG berikut ini.

Berdasarkan Prasasti Ceker, yaitu Pada 11 September 1185M. Yang menjabat sebagai raja panjalu adalah Sri Maharaja Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.
Namun setelah Kameswara wafat. Tahta Panjalu Daha ditempati oleh adiknya yaitu Kertajaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.

Setara pada angka tahun di jobong sumur diatas, yaitu 1190 masehi.
Terbit prasasti bertanda lanchana raja Srengga. Prasasti batu ini dikenal sebagai Prasasti Sapu Angin. Namun seperti yang kita ketahui, bahwa lenchana pada prasasti tersebut sangatlah beda dari lenchana - lenchana prasasti setelahnya. Menurut penelitian sejarah dari Boechari bahwa saat mengeluarkan prasasti Sapu  Angin, Raja Srengga Kertajaya masih bersetatus sebagai putra mahkota.

Naiknya Kertajaya sebagai maharaja Panjalu Kediri rupanya membuat suasana tanah Jawa kembali bergolak. Penyebabnya karena Kertajaya bukan putra mahkota Kameswara. Ketika Kameswara wafat, seharusnya yang mendaki tahta di Panjalu Kadiri adalah keturunan Kameswara dari Sasi Kirana.
Itu artinya cucu raja Jenggala yang berhak naik tahta Panjalu Kadiri. Bukannya Kertajaya, adik Kameswara. Inilah yang memicu kemarahan pihak Jenggala di Kutaraja lalu menggempur Panjalu Kadiri.
Raja Jenggala waktu itu adalah Sri Maharaja Girindra,  ayah Sasi Kirana. Sri Maharaja Girindra juga memiliki putra selir yang dikenal Pararaton sebagai Ken Arok.

Pasukan Girindra Jenggala berhasil mendesak kekuatan Panjalu Kadiri. Raja Kertajaya mengungsi bersama pasukan pimpinan Senapati Tunggul Ametung menuju Katandan Sakapat Kalangbrat, Tulungagung. Secara tersirat peristiwa ini termuat dalam Prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194M atau bulan Palguna, ketujuh, tahun saka 1116. Disebutkan dalam prasasti bahwa raja Kertajaya tersingkir dari istana Kadiri akibat serbuan musuh dari arah timur. Penyerbuan terjadi sebelum keluarnya Prasasti Kamulan.

Selama dalam pengungsian, Kertajaya menjadikan daerah Kalangbrat sebagai keraton sementara Panjalu. Bersama sisa pasukan dan para pandita serta segenap penduduk Katandan Sakapat Kalangbret,  Senopati Tunggul Ametung giat menggalang kekuatan  merencanakan serangan balik.

SUMBER SIWI SANG

Cuption.....
Jika kamu sebagai lelaki yang sedang jatuh cinta.
Harusnya kamu tak akan menyerah untuk mendapatkan seseorang yang membuatmu jatuh cinta.

Tidak ada komentar: