Minggu, 01 Desember 2019

Situs karanggayam blitar

Jayabhaya episode #2


Sebelum ke pembahasan tentang makna logo narasingha pada prasasti hantang di postingan sebelumnya. Kita telusuri dulu sesuatu yang keterkaitan dengan jayabhaya. Apa itu?
Monggo dibaca.
Dan semua tergantung interpretasi sendiri - sendiri. Jangan berargumen jika :
1. Tidak blusukan.
2. Hanya copy paste.
Dan jangan percaya pada kata "KATANYA". Buktikan sendiri dan jelajahi sendiri. Dan pemikiran idealis itu sangat penting dari pada hanya selfi. Pelajari sejarah dan belajarlah dari sejarah.




Dokumen blusuk 2018 yang sebenarnya dulu juga pernah saya posting di facabook. Namun awal tahun ini, sengaja saya hapus. Karena ada fasilitas blog.
Bergerak ke arah tenggara dari Situs kunir (klik), terdapat sebuah punden desa yang sangat dikeramatkan oleh warga, dan menurut saya amazing. Karena terdapat balok - balok batu penyusun sebuah candi dan jumlahnya rumayan banyak. Kemungkinan bila disusun kembali menjadi sebuah candi masih bisa, meskipun kecil ukurannya. Menariknya lagi, terdapat fragmen yoni dengan posisi terbalik. Dan istimewanya pada yoni tersebut memiliki ornamen garuda. Istimewa banget deh pokoknya. Sayangnya lokasi punden ini bersebelahan dengan sebuah kandang ayam. Sehingga bau kotoran ayam yang menyengat, sangatlah mengganggu. Apalagi jika berniat mengambil isoteri pada sisi spiritualnya.



Sewaktu sejenak bermeditasi di lokasi tersebut. Muncullah sesosok wanita cantik penunggu danyangan tersebut. Dia memberikan beberapa permintaan kepada saya. Namun saya tidak mau menurutinya. Hingga akhirnya dia berbalik tanya kepada saya "sebenarnya kamu ingin apa?".
Seketika itu saya langsung menjawab "saudaramu apa masih ada?. Soalnya aku senang sejarah untuk dipelajari. Kalo ada kasih tahu donk."
Dengan menunjuk kesamping kiri dia bilang "disana ada".
Ucapku "terima kasih non".
Lantas ku bergegas ke arah yang dituju. Dan ternyata memang benar kata sosok penunggu punden tadi.


Terdapat batu asah dan sebuah prasasti yang sudah aus. Miris, sangat memprihatinkan kondisinya. Apalagi letaknya berada di belakang rumah bekas kandang dan posisinya ambruk dan tak terawat.
Semoga cepat bisa dipindah, karena bulan kemarin saya, kang heyu (ketua asta gayatri) dan endro (dtraveler blitar) berhasil mengedukasi para perangkat desa. Dan ternyata, pihak perangkat desa malah butuh data guna hari jadi desa tersebut.




Dengan terdapatnya sebuah angka tahun 1034 saka atau setara 1112 mesehi pada batu asah di situs ini, perlu dipertanyakan masa pemerintahan siapa.
Nah... Ini yang sangat perlu dipelajari.


Dalam prasasti pucangan 1041 masehi, dikatakan bahwa yang menjadi putra mahkota adalah Samarawijaya. Sedangkan kakak perempuannya Śrī Sanggrāmawijayā sudah mengundurkan diri menjadi seorang petapa (rara kapuncangan). Maka saat itu yang menjabat sebagai RAKṚYĀN MAHĀMENTRI I HINO adalah sri samarawijaya.
catatan: mahamentri i hino adalah jabatan tertinggi setelah raja.

Dan sebelum turun tahta tahun 1042, Airlangga dihadapkan pada masalah persaingan antara kedua putranya. Maka, ia pun membelah wilayah kerajaannya menjadi dua, yaitu Kadiri dan Janggala. Peristiwa ini diberitakan dalam Nagarakretagama dan Serat Calon Arang, serta diperkuat oleh prasasti Turun Hyang (1044).

Dalam prasasti Turun Hyang, diketahui nama raja Janggala setelah pembelahan ialah Mapanji Garasakan. Sedangkan nama raja Kadiri tidak disebutkan dengan jelas. Namun dapat diperkirakan bahwa dijabat oleh Samarawijaya, karena sebelumnya ia sudah menjabat sebagai putra mahkota.

Peperangan dan perebutan kekuasaan terus terjadi. Berjarak waktu 10 tahun dari keluarnya prasasti pamwatan (1042), muncullah  Prasasti malenga (1052) yang isinya merupakan anugerah tanah perdikan kepada pengetua Desa di Malenga karena kesetiaannya kepada Mapanji Garasakan dalam perang melawan haji LINGGAJAYA.
Namun disini posisi haji linggajaya bukan sebagai maharaja, Melainkan hanya sebagai raja bawahan.

Setelah kerajaan daha vakum atau kosong dalam jangka waktu yang sangat lama, pada tahun 1117 masehi muncullah Prasasti Pikatan atau Padlegan I dengan seorang raja baru yaitu Sri maharaja (rakai siri) (kan) Sri bameSwara sakalabhuwana tustikarana (sa) rwwaniwaryyawiryya parakrama digjayotunggadewa. Prasasti ini ditemukan di desa pikatan dan sekarang berada di Museum Penataran, Kabupaten Blitar. Menurut buku dan para ahli, prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Raja Bameswara. Dengan kata lain merupakan prasasti pertama kerajaan Panjalu/Kadiri setelah mengalami masa gelap sejak Raja Samarawijaya (1042 M – 1044 M) berkuasa di Daha setelah pembagian kerajaan oleh Raja Airlangga.


Sumber Andrik Akira
Isi dari prasasti ini adalah memperingati penetapan suatu daerah menjadi sima sebagai anugerah raja Bameswara kepada para pejabat Desa Padlegan, karena mereka telah menunjukan kesetiaanya kepada raja dengan mengorbankan jiwanya di medan pertempuran (Boechari, 2012 : 16-17). Nopy Rahmawati dalam skripsinya (2002:38-39), menambahkan hak-hak istimewa yang diberikan dalam prasasti ini antara lain rāma para dūwān i padlěgan dapat memiliki dinding rumah dengan tiang, dapat menindik, mejamah, menggunting dan memukul, serta menindik anak yang diaku, dapat mengucapkan doa atau mantra, dapat mengadu celeng jantan dan dapat memakan babi aduan.

Sumber lain...

Menurut buku SNI 2, Prasasti Padlegan I berisi anugerah maharaja Bameswara kepada penduduk desa Padlegan dan sewilayahnya termasuk daerah Kalang, Kalagen, Kabanyagan berupa ketetapan daerah tersebut sebagai sima swatantra. adapun sebab keluarnya anugerah itu karena penduduk desa Padlegan telah berjasa pada raja mempertaruhkan jiwa raga demi kemenangan raja dalam peperangan dan karena berhasil menjadi pasukan pelindung raja.
Penduduk desa Padlegan menyampaikan permohonan kepada raja melalui perantara bernama Sang Juru pangjalu Mapanji Tutusingrat.


Jadi...
Dengan terdapatnya sebuah angka tahun 1034 saka pada batu asah diatas, saya menyimpulkan bahwa itu mungkin juga era bhameswara.
Kenapa?
1. Letak Desa karanggayam tidak jauh dari desa pikatan. Tempat dimana ditemukannya prasasti padlegan I.
2. Tidak disebutkan dalam naskah apapun (negara kertagama, pararaton atau kakawin lainnya) tentang naik tahtanya bhameswara sebagai raja.
3. Prasasti karanggayam diatas belum terbaca.



Gelar raja Bhameswara adalah Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjatottunggadewa. Tentu saja gelar tersebut menggelitik saya buat mempelajarinya lagi.
Kenapa?
Karena terdapat gelar Rake sirikan.
Apa itu...?
Itu adalah gelar rakyan mahamentri. Sangat sering dipakai pada zaman Kerajaan Medang sampai era Kerajaan Kadiri. Rakryan Mahamantri terdiri atas tiga jabatan, yaitu:
1. Mahamantri i Hino
2. Mahamantri i Halu
3. Mahamantri i Sirikan.
Biasanya mahamantri i Hino dijabat oleh putra sulung raja atau putra mahkota.
Namun jika ia meninggal atau mengundurkan diri, maka putra kedua yang semula menjabat mahamantri i halu menggantikan posisinya.
Sebagai contoh sudah saya jelaskan diatas. Dalam prasasti pucangan 1041 masehi, dikatakan bahwa yang menjadi putra mahkota adalah Samarawijaya. Sedangkan kakak perempuannya Śrī Sanggrāmawijayā sudah mengundurkan diri menjadi seorang petapa (rara kapuncangan). Maka saat itu yang menjabat sebagai RAKṚYĀN MAHĀMENTRI I HINO adalah sri samarawijaya.
Sedangkan i sirikan identik dengan putra selir bukan putra permaisuri.

Nah...
Berarti, jika bhameswara menyandang gelar I sirikan. Lantas siapa yang menjabat sebagai maharaja, i hino dan i holu?

Nantikan episode selanjutnya.
Misteri tentang makna logo narasinga dan keterkaitannya  bhameswara dengan jayabhaya.

Tidak ada komentar: